بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ
PAK..
BU! AKU SAYANG KALIAN
Anak itu
kaget, tersentak dengan pertanyaan temannya. “Mana ayahmu?”, ketika teman-temannya
saling bercerita tentang indahnya hari-hari bersama ayahnya, dia hanya
tertunduk lesu.
“Siapa ayahku?”.
“Dimana ayahku?”.
Pertanyaan
yang menghantui saat termenung sendiri, terduduk di bawah pohon kurma yang
seakan ingin menghiburnya. Dia menyadari, selama ini dia hidup tanpa sosok ayah
yang sebagaimana teman-temanya miliki.
Menunduk
lesu, dia melangkah pulang menelusuri tajamnya kerikil jalan yang tidak setajam
pertanyaan temannya. Di pikirannya hanya
satu, bertanya ke ibu tentang ayah. Sesampainya di rumah beralaskan tanah dan
beratap pelepah kurma, dia memeluk ibunya.
“Buuuuu…..
siapa ayahku?, Dimana ayahku?”
Pertanyaan
yang menyayat hati seorang ibu yang telah bertahun-tahun menahan sendiri pahitnya
kehilangan sosok penguat jiwa. Dia terdiam membisu, ketika anaknya bertanya
tentang ayah. Belum sempat dia menjawab, anaknya mencurahkan isi hatinya
“Bu,
kenapa aku tidak punya ayah?, kenapa semua teman-teman mempunyai ayah?”.
Dia
serba bingung, karena anak seusia anaknya sedang dekat-dekatnya dengan sang
ayah. Akhirnya dengan memantapkan jiwa, dia memeluk anaknya, sembari
mengucapkan kalimat yang beratnya membuat bibir terasa kilu.
“Nak…
mari kita mengunjungi ayah besok”.
Sebuah
jawaban yang sementara menenangkan buah hatinya, sang anak pun bahagia,
terbayang sosok ayah akan dipeluk esok hari. Teriknya matahari, panasnya padang
pasir semakin membuat hati sang anak hangat akan pelukan rindu. Justru
sebaliknya bagi sang ibu, semakin membuat hatinya bergemuruh membayangkan
ketika anaknya mengetahui keadaan sesungguhnya.
Kaki
sang ibu terhenti di depan gundukan-gundukan tanah yang terhiasi batu
diatasnya. Sang ibu bersimpuh dan perlahan air matanya menetes di depan tempat
terakhir suaminya. Sang anak pun terlihat bingung, kenapa ibunya berhenti di
sini, dan menangis di hadapan kuburan?. Dengan memandang wajah ibu penuh dengan
penasaran, sang anak pun bertanya,
“Bu,
kenapa kita ke sini? Kenapa ibu menangis? Mana ayah bu?”
Pertanyaan
polos yang membuat sang ibu memeluk erat anaknya untuk menumpahkan deraian air
mata, sembari mengatakan siapa dan dimana ayahnya sesungguhnya,
“Nak…
ayahmu telah meninggalkan sejak kamu di kandungan ibu, dan di dalam ini adalah
ayahmu”
Duarrr….
Petir di bawah teriknya matahari kota menyambar jiwa terdalam sang anak, dia
terdiam tanpa menanggapi jawaban ibu. Kebahagiaan yang telah diimpikan sirna
sudah, spontan dia menangis selayaknya anak merengek di depan ayahnya,
“Ayaaaaahhh….
Kenapa ayah meninggalkan kami?, aku ingin bertemu ayah??? Ayo ayah pulang???”.
Lebih
sakit lagi bagi sang ibu, menangis tanpa suara tapi penuh deraian air mata,
melihat kenyataan suaminya telah tiada, dan kini anak satu-satunya sedang
menangisinya. Kini hanya tangisan di antara dua insan yang sedang kehilangan
pelengkap kehidupan mereka. Suasana hening pemakaman membuat mereka terlarut
dalam kerinduan yang belum bisa tersampaikan.
Karena
tak ingin berlama-lama dalam kesedihan, sang ibu mengajak anak kecilnya untuk
segera pulang ke rumah. Perjalanan pulang, sungguh berbeda dengan perjalanan
berangkat, hamparan padang pasir yang sebelumnya terasa hamparan rumput hijau
bagi sang anak, sekarang panasnya benar-benar menusuk tidak hanya kulit, tapi
hati paling dalam. Langit yang sebelumnya cerah, kini mendadak terasa berawan
hitam.
“Bluggg…”
Suara
dari arah belakang yang menghentikan lamunan sang anak. Di tengah perjalanan
panjang, tiba-tiba sang ibu terjatuh.
“Bu… kenapa
ibu?”. Tanya anak dengan membantu ibunya untuk bangun.
“Tidak
apa-apa nak, sepertinya ibu capek, sebaiknya mari kita nyari tempat untuk
istirahat”.
Di atas
tanah beralaskan tikar, ibunya tidur terdiam. Mulai tampak raut mendung di
wajah sang anak.
“Bu… ibu
tidak apa-apa kan?”.
“Tidak
apa-apa nak, ibu hanya pengin istirahat”. Jawaban yang cukup
menenangkan sang anak untuk menunggui ibunya istirahat tidur.
“Bu…
sudah menjelang sore, ayo kita lanjutkan perjalanan”, sang
anak terbangun dan membangunkan ibunya.
Sepi…
hening…. Tidak ada jawaban sekatapun dari ibunya.
“Bu,,,
ayo bangun”.
Sepi..
masih sepi. “bu….” Sang anak mulai mendorong badan ibunya yang tertidur miring.
Masih juga belum ada jawaban dari ibunya. Bisu yang membuat hati sang anak
mulai gelisah. Tapi dia tidak menyerah membangunkan ibunya lagi, “Bu….. ibu
ayo bangun”. Tampak sosok wanita tua keluar dari kamarnya, lalu mengecek
kondisi sang ibu, dan akhirnya dia menutup wajah sang ibu dengan sehelai kain.
Sang
anak pun kaget dan marah, “Kenapa wajah ibuku ditutup??!!” pertanyaan
serius dengan mata berkaca-kaca.
“Nak…ibumu
meninggal”
Duarrr!!!…
Petir kedua yang menyambar jiwanya, mendadak kilu. Badannya mendadak kaku,
perlahan namun pasti, butiran air mata satu persatu tidak bisa dibendung. Tidak
ada lagi tanya jawab, yang ada dia memeluk badan orang yang paling dicintai seerat
mungkin.
“Bu….
Ibu….” Panggilan sendu yang tidak mungkin lagi dijawab. “Ayo pulang…”,”bu..
ibuuuuuuuuuuuu, jawab bu….” Panggilan terakhir dia yang dilanjutkan air mata
yang semakin deras membasahi bumi.
Di antara
jutaan bintang, hanya matahari yang paling terang, dan di antara jutaan bahkan
milyaran manusia, hanya Nabi Muhammad SAW yang paling ku sayang. Manusia yang
paling sabar, ketika kehilangan kedua orang tuanya. Aku tidak dapat
membayangkan bagaimana rasanya, jika di usianya yang begitu belia sudah tidak
memiliki ayah dan ibu. Maka dari itu, beruntung sekali aku yang masih memiliki
mereka.
Aku sangat
menyayangi mereka, jiwa dan ragaku belum
siap, bahkan tak kan pernah siap bersedih seperti Nabi Muhammad ketika
kehilangan 2 sosok manusia sempurna yang menjagaku. Ayah telah menjadikan siang
dan malamnya untuk berjuang membuatku bahagia, bisa makan kenyang, tidur
nyenyak, berteduh dari terik matahari, berteduh dari tetesan hujan. Bahkan
sekarang aku tertawa bahagia berseragam sekolah dan menggendong tas karena ada
tetesan keringat ayah. Jadi tak pantas jika aku melupakan perjuangan sosok
manusia yang dulu badanya tegak, kini mulai bungkuk karena menahan lelahnya memperjuangkanku.
Ibu… Oh
Ibu,,,
Setelah aku
besar, aku baru sadar. Membawa beban di badan hari demi hari, bulan demi bulan,
bukannya lebih ringan. Justru sebaliknya berakhir dengan puncak rasa sakit. Seluruh
sendi-sendi tubuhmu meregang. Maafkan aku bu, antara hidup dan mati engkau
melahirkanku. Tangisanku saat itu memekakkan telinga, tapi justru menghapus
berbagai kesakitan dan kelelahanmu. Hari bertambah hari, tahun bertambah tahun.
Terbayang genggaman tangan mu yang kasar karena halusnya telah tergantikan
dengan seluruh pekerjaanmu. Panggilanmu padaku yang lembut selalu menghiasi
telingaku.
Aku sangat
mencintai bapak dan ibu, betapa berat perjuangan mereka. Bahkan Rasulullah menyandingkan
bakti orang tua setelah shalat. Ada seorang sahabat yang bertanya kepada
Rasulullah ‘“Amal apa yang paling dicintai Allah swt?”.
Nabi
menjawab: “Shalat pada waktunya”.
Sahabat itu
bertanya lagi: “Lalu apa lagi?”.
Nabi
menjawab: “Lalu berbakti ke kedua orang tua”.
Oleh karena
itu, selain rasa sayangku kepada mereka, juga ada dorongan dari Rasulullah saw
untuk berbakti kepada mereka. Aku akan selalu berusaha berbakti kepada mereka
semampuku saat ini. Ketika di rumah aku selalu berusaha menunaikan kewajibanku
kepada Alloh yaitu shalat dan mengaji, setelah itu melaksanakan kewajibanku
kepada orang tua, yaitu berbakti kepada mereka.
Dimulai dari
bangun tidur di pagi hari, aku selalu berusaha bangun awal, jangan sampai ayah
ibu kesusahan membangunkanku. Setelah shalat subuh, saya membantu ibu
mencucikan piring, menyapu rumah, memasak untuk sarapan, mencuci baju sendiri. Sebelum
berangkat sekolah aku berpamitan dan mencium tangan ayah ibu.
Ketika di
sekolah aku selalu berusaha menjadi anak yang soleh dan berprestasi. Aku berbakti
kepada guru, dan menyayangi teman. Setelah pulang sekolah, aku kembali
beraktifitas membantu orang tua. Sejak kecil, ayahku mencontohkan untuk menyayangi
binatang. Aku ingat dulu ketika aku kecil, ayah mengajakku untuk memberi makan
ayam, kambing. Sekarang itu menjadi aktifitas harianku. Setelah pulang sekolah,
aku mencari rumput untuk kambing. Kadang mencari sendiri, kadang bareng sama
ayah.
Ketika peliharaanku
sudah besar, ayah menjualnya. Kemudian uangnya saya tabung untuk kebutuhan
tertentu. Ketika hari sudah sore, aku bergegas mandi, dan bersiap-siap mengaji
di masjid. Setelah malam, aku menyempatkan diri untuk belajar dan mempersiapkan
untuk sekolah besok. Sekitar jam 21:00 aku pun sudah tertidur, karena aku tidak
kesiangan besoknya.
Begitulah
aktifitasku sehari-hari, aku harus jadi anak mandiri dan membanggakan orang
tua. Aku berjanji, untuk selalu berusaha membuat mereka tidak kecewa. Hal yang
paling sedih, ketika ayah atau ibu sedang sakit. Biasanya aku terbangun di pagi
hari, aku selalu melihat ayah dan ibu sudah sibuk dengan urusanya
masing-masing. Tapi ketika mereka sakit, aku sedih, mereka tertidur di kamar,
berselimut rapat. Kupegang keningnya, terasa panas. Kupijit tangannya. Aku ambilkan
makan dan minum, lalu kusuapin. Aku sedih, aku takut, jangan sampai seperti
saat Rasulullah saw melihat ibunya tertidur sakit lalu tidak bangun lagi.
Aku tidak
bisa membayangkan bagaimana ketika ayah atau ibu meninggalkanku. Ketika kupandang
rumah dari depan terkenang sosok yang selalu menyambut kepulanganku dengan
ceria. Kupandang dapur, terkenang sosok yang sedang sibuk menakar garam dan
bawang untuk diramu menjadi makanan kesukaanku. Ketika kupandang hewan
peliharaan, teringat sosok yang mengajarkanku keberanian dan ketangguhan
menjadi manusia. Ketika kupandang pintu rumah dari dalam, kupandang sosok yang
mengetuk pintu dari luar, lalu kupeluk dan ayah mencium keningku.
Tak terbayangkan
jika saat itu terjadi
Sebelum
saat itu terjadi, aku harus berbakti kepada mereka dan membuat bahagia mereka. Jika
aku belum bisa memberikan segenggam emas, aku akan berusaha membuat mereka
tersenyum karena bahagia memiliki anak sepertiku.
Jika saat
itu terjadi, ketika ayah dan ibu sudah tiada, aku akan berjanji tetap berbakti
kepada mereka. Yaitu menjadi anak soleh yang selalu mendoakan orang tua. Sebagaimana
yang telah diajarkan Rasulullah saw:
“Apabila
manusia mati maka amalnya terputus kecuali karena tiga hal: sedekah jariyah,
ilmu yang bermanfaat, dan anak soleh yang mendoakan orang tuanya”
Jadi wahai
teman-teman yang disayangi Alloh, marilah sayangi dan berbakti kepada orang tua
kita. Selagi mereka masih hidup, berusaha selalu menjadi yang terbaik agar ayah
dan ibu bahagia. Karena wajah mereka perlahan akan keriput, badanya semakin
bungkuk, jangan sampai ketika mereka tiada, kita sama sekali belum pernah
menggoreskan senyuman di wajah mereka. Dan katakan, Pak,,, Bu,,, Aku sayang
kalian.
Ya
Alloh, ampunilah dosaku, dosa orang tuaku, dosa guruku
Kumpulkan
kami dalam satu iman di surga Mu bersama Rasulullah saw .
Aamiin
Wallohu ‘alam
Banyumas,
15 September 2019
Cerita ini dibuat bukan karena mengada-ngada
terkait sirah nabawiyyah. Tapi cerita ini dibuat dengan usaha yang
sungguh-sungguh dari penulis, untuk memposisikan diri sebagai tokoh, sehingga
betul-betul merasakan seolah apa yang tokoh rasakan. Sehingga dalam membuat
ceritanya, penulispun berlinangan air mata. Merasakan betapa sebenarnya
Rasulullah kehidupannya selalu bersanding dengan penderitaan, akan tetapi
penderitaan itu tidak pernah membuat beliau menyerah.
Sehingga penulis mencoba menggali cerita
Nabi Muhammad dari aspek emosional nya.
Cerita ini juga diperuntukkan untuk kegiatan
Lomba Cerita Islami MAPSI Korwilcam Sumpiuh 2019.