بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ
A.
Memaknai sorban, peci, kopiah
Serban
dalam bahasa arab disebut dengan ‘imamah, bentuk jamaknya adalah al-‘ama’im yaitu pakaian lebar yang
dililitkan seseorang diatas kepalanya untuk melindungi dari panas dan dingin,
dikatakan ‘ammamahu ta’miman maksudnya
dia mengenakan serban.
Salah
satu cara menutup kepala yang sering ditawarkan bagi kaum lelaki adalah dengan
memakai serban. Dalam bahasa Indonesia, kata ”serban” bukanlah kata baru.
Perbendaharaan kata ini sudah sejak lama kita kenal. Dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia (KBBI), sorban (serban) adalah
ikat kepala yang lebar (yang dipakai orang Arab, haji dan sebagainya).
Dari
sisi fisik, serban bukan hal istimewa, tidak ada bedanya dengan selembar kain
lainnya. Serban menjadi istimewa karena mewakili sebuah simbol. Di kalangan
masyarakat kita, kain serban tidak bisa dipakai sembarang orang. Meski bukan
hal yang haram dipakai orang biasa, cobalah Anda yang (mungkin) tidak memenuhi
kualifikasi tertentu, memakai serban di tempat-tempat umum. Pastilah Anda akan
disindir orang-orang di sekitar Anda.
Prinsipnya,
para pemakai serban adalah orang yang punya keilmuwan yang lebih yang tidak
dimiliki orang kebanyakan. seperti ulama yang sangat menyejukkan ketika dipandang, Habib Saggaf bin Mahdi. bahkan sekarang tidak cuma ulama yang mengenakan serban. Para santri pun mengenakannya, karena mereka juga mengikuti guru yang mulia seperti Buya Yahya di pesantren Al Bahjah, Cirebon.
Bahasa
arab peci (kopiah) adalah qalansuwah, bentuk jama’nya qalanis, ia merupakan pakaian yang diletakkan diatas kepala untuk
memperbagus penampilan dan untuk melindungi pemakainya dari panas matahari.
Peci,
yang disebut juga sebagai kopiah atau kopiah merupakan sejenis topi tradisional
bagi orang Melayu. Di Indonesia, songkok yang juga dikenal dengan nama peci ini
kemudian menjadi bagian dari pakaian nasional, dan dipakai tidak hanya oleh
orang Islam. Songkok juga dipakai oleh tentara dan polisi Malaysia dan Brunei
pada upacara-upacara tertentu.
Songkok
populer bagi masyarakat Melayu di Malaysia, Singapura, Indonesia dan selatan
Thailand. Perlengkapan ini dikatakan berasal dari pakaian yang dipakai di
Ottoman Turki. Songkok menjadi populer dikalangan India Muslim dan menurut
pakar kemudiannya berangsur menjadi songkok di dunia Melayu.
Bagi
kalangan orang Islam di Nusantara, songkok menjadi pemakaian kepala yang resmi
ketika menghadiri upacara-upacara resmi seperti upacara perkawinan, shalat
Jumat, upacara keagamaan dan sewaktu menyambut Idul Fitri dan Idul Adha.
B.
Dalil mengenakan penutup kepala
Sebagian yang lain,
beranggapan bahwa serban itu hanya pakaian penutup kepala bagi orang Arab saja,
bukan untuk orang Indonesia.
1. Jabir
bin Salim radhiyallahu ‘anhu.
menceritakan:
حَدَّثـَنَا أَبُو الْوَلِيدِ الطَّيَالِسِ ىُّ وَمُسْلِمُ بْنُ
إِبـْرَاهِيمَ وَمُوسَى بْنُ إِسْمَاعِيلَ قَالُوا حَدَّثـَنَا حَمَّادٌ عَنْ أَبِى
الزُّبـَيْرِ عَنْ جَابِرٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى االله عليه
وسلم- دَخَلَ عَامَ الْفَتْحِ مَكَّةَ وَعَلَيْهِ عِمَامَةٌ سَوْدَاءُ .
Artinya: “Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu’alaihi
Wasallam memasuki Mekah dengan memakaiserban berwarna hitam”. (Riwayat, Abu
Daud, at-Tirmizi dan Ibnu Majah).
2. Nafi’ meriwayatkan dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhu. menceritakan :
حَدَّثـَنَا هَارُونُ بْنُ إِسْحَاقَ الْهَمْدَانِىُّ حَدَّثـَنَا
يَحْيَى بْنُ مُحَمَّدٍ الْمَدَنِىُّ عَنْ عَبْدِ الْعَزِيزِ بْنِ مُحَمَّدٍ عَنْ
عُبـَيْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ عَنْ نَافِعٍ عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ
كَانَ النَّبِىُّ - صلى االله عليه وسلم- إِذَا اعْتَمَّ سَدَلَ
عِمَامَتَهُ بـَيْنَ كَتِفَيْهِ
. قَالَ نَافِعٌ وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ يَسْدِلُ عِمَامَتَهُ بـَيْنَ كَتِفَيْهِ .
Artinya: Adalah Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam
apabila memakai serban, beliau melepaskan diantara dua bahunya.” Berkata Nafi’
Ibnu Umar: apabila memakai serban, beliau melepaskan ekor serbannya antara dua bahunya
(yakni karena mengikut perbuatan Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam.). (Riwayat
Imam at-Tirmidzi).
3. Diriwayatkan oleh Jaafar bin Amru bin
Harith dari bapaknya yang menceritakan:
حَدَّثـَنَا هِشَامُ بْنُ عَمَّارٍ حَدَّثـَنَا سُفْيَانُ بْنُ عُيـَيـْنَةَ
عَـنْ مُسَـاوِرٍ الْـوَرَّاقِ عَـنْ جَعْفَـرِ بْـنِ عَمْـرِو بْـنِ حُرَيْـثٍ
عَـنْ أَبِيـهِ قَـالَ رَأَيْـتُ النَّبِـىَّ -صـلى االله عليـه
وسـلم- يَخْطُـبُ عَلَـى الْمِنْبَـرِ وَعَلَيْـهِ عِمَامَـةٌ سَـوْدَاءُ .
Artinya: “Aku telah melihat Nabi Shallallahu’alaihi
Wasallam. di atas mimbar dengan memakai serban hitam di mana ia telah
melepaskan ekornya di antara dua bahunya”.(Riwayat Imam Muslim, at-Tirmizi,
Abu Daud, an-Nasai dan Ibnu Majah).
Hadis-hadis
di atas menunjukkan bahwa memakai serban menjadi kelaziman Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam. di mana
baginda memakainya ketika membaca khutbah, pada hari raya, ketika peperangan
termasuklah ketika pembukaan kota Mekah. Malah terdapat hadis menceritakan
baginda tidak menanggalnya sekalipun ketika mengambil wudhu’. Hadis nabi yang bersumber
dari Ja’far bin Amr dari Ayahnya :
حَدَّثـَنَا عَبْدَانُ قَالَ أَخْبـَرَنَا عَبْدُ اللَّهِ قَالَ
أَخْبـَرَنَا الأَوْزَاعِىُّ عَنْ يَحْيَى عَنْ أَبِى سَلَمَةَ عَنْ جَعْفَرِ بْنِ
عَمْرٍو
عَنْ أَبِيهِ قَالَ رَأَيْتُ النَّبِىَّ - صلى االله عليه وسلم
- يَمْسَحُ عَلَى عِمَامَتِهِ وَخُفَّيْهِ .
Artinya: Telah menceritakan kepada kami ‘Abdan dia
berkata telah memberitakan kepada kami Abdullah dia berkata telah mengabarkan kepada
kami Auza’i dari Yahya dari ayahnya Salamah dari Ja’far bin Amr dan dari
Ayahnya, Dia berkata “ Saya melihat Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam mengusap
surbannya dan kedua khuffnya”. (Shahih Bukhari Bab Wudhu, Al Mash
alalKhuffain).
Pandangan
Ulama Tentang Hukum Memakai Serban atau Penutup Kepala
Pada asalnya, hukum suatu
model pakaian adalah mubah-mubah saja. Namun mengingat adanya beberapa hadits
yang menyebutkan kebiasaan Rasulullah Shallallahu’alaihi
Wasallam memakai imamah, para ulama berbeda pendapat mengenai hukumnya
apakah mubah saja ataukah sunnah? Sebagian ulama menyatakan hukumnya sunnah,
dalam rangka meneladani Nabi Shallallahu’alaihi
Wasallam
Lebih
utama sorban atau peci atau penutup kepala lain?
Jika seseorang tinggal di
daerah yang mayoritas masyarakatnya biasa memakai sorban atau sejenisnya, atau
jika tidak memakai sorban di daerah tersebut malah jadi perhatian orang-orang,
maka lebih utama memakai sorban. Adapun jika masyarakat setempat tidak biasa
dengan sorban, maka ketika itu tidak utama memakai sorban, karena membuat
pemakainya menjadi perhatian sehingga termasuk dalam ancaman pakaian syuhrah.
Sebagaimana hadits:
من لبِسَ ثوبَ شُهرةٍ في الدُّنيا ألبسَه اللَّهُ ثوبَ مذلَّةٍ يومَ
القيامةِ
“barangsiapa
memakai pakaian syuhrah di dunia, Allah akan memakaikannya pakaian kehinaan di hari
kiamat” (HR. Ahmad
9/87. Ahmad Syakir menyatakan: “shahih”).
Pakaian syuhrah adalah
pakaian yang jarang dipakai dalam kebiasaan kaum muslimin, atau pakaian yang
seseorang menjadi pusat perhatian dengannya karena pakaian itu sangat mewah dan
membuat orang yang mengenakannya terkenal, dan semacamnya.
Kesimpulan
1. Hukum mengenakan Serban atau penutup
kepala ada yang mengatakan Sunnah, karena Rasulullah mengenakannya
2. juga ada yang mengatakan mubah, Karena
Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam
dahulu memakainya dalam rangka mengikuti adat pakaian yang dikenakan orang
setempat pada waktu itu, sehingga
3. tidak masalah jika mau mengenakan
penutup kepala, dengan syarat
a. merupakan pakaian yang biasa dipakai
masyarakat setempat
b. tidak meniru ciri khas orang kafir,
c. tidak menyerupai wanita dan lainnya
4. sehingga tidak perlu diperdebatkan
bahkan sampai mengkafirkan atau membid’ahkan, cukup saling mengingatkan dalam
kebaikan dengan kelembutan.
Wallohu a’lam
Bandung, 6 Agustus 2018
Ngubaidillah.,M.Pd
Referensi
Ahmad Warson Munawwir, Kamus al-Munawwir,(Surabaya: Pustaka
Progresif, 1997)
Poerwadarminta, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1999)
Abi Dawud Sulaiman bin al-‘Asy
al-Sijistani, Sunan Abu Dawud,
(Beirut: Dar al-Fikr, 2003),
Abi ‘Isa Muhammad ‘Isa bin Saurah, Sunan at-Tirmidzi, (Beirut: Dar al-Fikr,
2003)
Jalaludin as-Suyuthi, Sunan an-Nasa’i, (Beirut: Dar al-Fikr,
2005)
Syaikh Abdul Wahab
Abdussalam Thawilah, Adab Berpakaian dan Berhias, terj. Fiqh al- Libas wa
Ziinah, (Jakarta Timur: Pustaka al-Kautsar, 2014), 235.