Tragedi pendidikan formal
Tragedi pendidikan formal
bismillah
Allohumma Shalli 'ala Muhammad
Sebelumnya penulis membahas
“kesalahan dalam pendidikan informal”, kali ini penulis ingin menjelaskan
beberapa masalah “trial-eror” dalam pendidikan formal.
Perlu diketahui bersama, pendidikan
formal yang paling diandalkan oleh rakyat, ternyata belum menjawab sepenuhnya
kepercayaan itu. Masih banyak menyisakan permasalahan dari sisi peserta didik,
pendidik, fasilitas pendidikan, harga pendidikan, bahkan sampai pemerintah
dalam menelurkan regulasi pendidikan yang sangat berpengaruh.
Tipologi pendidikan formal beragam :
1. Dibawah pemerintah
yang disebut Negri, yang didalamnya ada Sekolah Negri dan Madrasah Negri
2. Pendidikan
formal yang berupa Negri dan Swasta
3. Sekolah
swasta beserta variasinya seperti Islam Terpadu ( IT), Versi Integrasi
Pesantren ( VIP), Islamic Boarding, dan sebagainya
4. Sekolah swasta
dibawah Organisasi Masyarakat seperti NU, Muhammadiyah, Persis, dan sebagainya
5. Sekolah swasta
dibawah pesantren, seperti Pesantren Nurul Iman, Bogor
6. Sekolah swasta
di bawah yayasan
7. Pendidikan
non – formal yang disetarakan dengan pendidikan formal, sehingga ijazahnya
diakui, seperti Pondok Modern Gontor
8. Sekolah alternatif
yang ijazahnya juga diakui, seperti Qaryah Thayibah Salatiga
9. Home Schooling, yang
telah mendapat pengakuan pemerintah
10. Atau ijazah
Paket A, B, C yang bisa digunakan, dan sebaginya
Berikut
penulis paparkan berdasarkan pengalaman dan penelitian yang penulis lakukan
A. Pendidik
1. Banyaknya
pendidik yang tidak sesuai kualifikasi pendidikan, biasanya yang belum sebagai
status PNS
2. Rendahnya
upah pendidik yang tidak di bac up dengan anggaran pemda, sehingga berdampak
3. Kurang
seriusnya pendidik dalam mengajar, sehingga
4. Kurangnya
menganggap anak didik sebagai anaknya sendiri, sehingga
5. Kurangnya
kepedulian pendidik terhadap masa kini dan masa depan peserta didik
6. Terbukti,
jarangnya pendidik membawa peserta didiknya ke dalam do’anya setelah shalat
wajib dan tahajud
7. Kurang
pahamnya pendidik terkait hidden kurikulum, seperti uswah atau modelling,
sehingga
8. Pendidik
hanya menganggap bahwa peserta didik hanya membutuhkan ilmu yang dimilikinya,
padahal
9. Kecintaan
siswa terhadap pelajaran berbanding lurus dengan kecintaanya pada guru, biarpun
pelajaran susah tapi jika pendidiknya dicintai, pelajaranya pun akan dicintai.
Begitu sebaliknya, pelajaran semudah apapun, jika melihat gurunya penuh dengan
rasa takut bahkan kebencian, maka benci juga dengan pelajaranya
10. Guru
mengajarkan disiplin, tapi dirinya selalu telat masuk kelas.
11. Guru
mengajarkan shalat, tapi tidak jamaah di Masjid
12. Guru
selalu mengajarkan akhlk, tapi tidak menggambarkan dirinya mencontoh Rasulullah
13. Jadi,
guru pandai berkata tanpa melakukannya, padahal 1 contoh lebih berarti daripada
1000 nasihat
14.Sehingga,
jarangnya guru yang menjadi public figure bagi peserta didik, hal ini bisa
dibuktikan dengan menanyakan ke beberapa peserta didik dalam suatu sekolah.
Siapa dan berapa guru yang menginspirasi.
B.
Peserta
Didik
1. Latar
belakang keluarga dengan kondisi sosiologi, ekonomi, budaya, pemahaman agama
yang berbeda – beda
2. Motivasi
terbesar ke sekolah bukan menuntut ilmu, tapi hanya ikut – ikutan teman atau
diperintah orang tua, atau hanya karena mengikuti arus kehidupan
3. Buktinya,
ketika pulang sekolah atau lulus sekolah, ditanya “ilmu apa yang paling
disukai” lalu “coba jelaskan !” akan diam seribu Bahasa,
4. Biarpun
sekolah SMA yang berbasis IPA, IPS, ketika ditanya “mana yang lebih kamu sukai
? kimia atau matematika atau sosiologi atau ekonomi?” akan menjawab dengan asal
tebak, tapi ketika ditanya lagi “coba jelaskan sejarah ilmu tersebut, tokoh
yang berjasa, evolusi perkembangan dari era klasik sampai modern, dll” akan
terdiam terpaku
5. Apalagi
MA yang sekolah umum dengan ditambahi bumbu agama, ketika ditanya soal ilmu
agama pun, peserta didik akan geleng – geleng kepala. “apakah kamu suka Bahasa
Arab?”, sunggu miris, MA yang katanya sekolah Islam justru +_ dari 100
responden yang ditanya, 90 yang menjawab “tidak suka Bahasa arab”. Ada apa
dengan pendidikan Madrasah? Bukan kah Bahasa arab adalah pintu segala ilmu
agama?, ternyata
6. Dihadapkanya
peserta didik dengan budaya hedonis, dengan bergerombol bersama teman – temanya
dan tercebur dalam dunia pacaran sehingga kebahagiaan mereka bukan lagi dalam
pencarian ilmu
7. Ditambah
dengan perkembangan era digital yang begitu cepat, membawa peserta didik untuk
semakin menjauh dari pendidikan, karena mereka asyik dengan pembodohan
berdasarkan kesenangan
8. Hal ini
terbukti, jarangnya peserta didik yang betah di sekolah. Dibuktikan, hal yang
paling ditunggu oleh peserta didik adalah ketika bel pulang, atau guru tidak
mengajar alias kosong, atau tidak jadi ulangan atau bahkan libur. Hal ini
tragedy yang mengenaskan
9. Bisa
dibuktikan lagi, berapa jam sehari peserta didik memegang gadget disbanding
memgang buku
10. Lebih
banyak mengenal nama Sahabat Rasulullah dan ilmuwan dibandingkan dengan nama –
nama artis,? sungguh tragis
C.
Kepala
Sekolah
1. Jarangnya
kepala sekolah yang visioner
2. Hanya
mengikuti program kepemimpinan terdahulu
3. Kepala
sekolah seperti Raja, sehingga menjauh dari rakyat atau peserta didiknya,
sehingga
4. Kepala
sekolah gagal dalam menjadi central figure bagi pseserta didik
5. Kepala
sekolah negri terbatasi dalam regulasi, kecilnya kekuatan untuk menabrak
regulasi
6. Kepala
sekolah swasta tidak berasni berinovasi karena kurangnya supply dana
7. Kurangnya
keterpaduan kepemimpinan karismatis dengan sistematis
D. Lembaga Pendidikan
1. Tidak
bisa membayar gaji yang pantas kepada guru, karena terbatasnya keuangan
2. Tidak
punya usaha sekolah yang bisa dijadikan solusi
3. Terpakunya
dengan regulasi sehingga takut dalam melakukan kreasi
4. Yayasan
cenderung melepas jalanya sekolah yang dinaungi
5. Hanya
megharapkan profit, karena menjadikan lembaga pendidikan sebagai bisnis
6. Sehingga,
mahalnya biaya pendidikan tidak sebanding dengan kualitas lulusan yang
dibuktikan
7. Kualitas
hanya slogan , layaknya promosi calon bupati saat coblosan
E.
Pemerintah
1. Ganti
pemerintahan, ganti kebijakan. Sehingga lembaga pendidikan yang didalamnya rakyat
yang berdaulat hanya sebagai kelinci percobaan ( trial error) yang akhirnya mal praktek
berujung berakhir kematian
2. Regulasi
akhirnya membatasi sekolah membuat inovasi dan kreasi
3. Berkali
– kali ganti manajemen sekolah, dari TQM, MBS, MPMBS, dsb
4. Seringnya
ganti kurikulum, sehingga berdampak kebingunganya lembaga pendidikan dalam
mengikuti kemauan pemerintah
5. Terbatasnya
anggaran pendidikan dalam APBN hanya 0,09 % dari PDB, kalah telak dibandingkan
Malaysia 0,25 %, Singapura 2,14 % apalagi dengan USA 7,3 % dari PDB
6. Politisasi
pendidikan dalam berbagai birokrasi, sehingga Kementrian Pendidikan masuk dalam
top klasemen lembaga terkorup
7. Tidak
mau mengambil alih CSR (Customer Social Responsibilty) semua perusahaan untuk
disalurkan ke pendidikan, sehingga
8. CSR
Perusahaan digunakan oleh perusahaan tersebut sebagai promosi terselubung
9. Normatifnya
lembaga akreditasi pemerintah, sehingga
10. hasil
akreditasi tidak menjamin dari kualitas lembaga tersebut, sehingga
11.lembaga
pendidikan berlomba – lomba menggunakan lembaga akreditasi dari swasta bahkan
internasional seperti Cambridge Assesment International Education, ISO, dan
sebagainya
Demikian beberapa permasalahan di
Pendidikan Formal, adanya masalah perlu dicarikan solusi sesuai kapasitasnya
masing - masing. Jika kita sebagai peserta didik, seyogyanya menjadikan
pendidikan sebagai fase ttansformasi atau perubahan iman, ilmu dan amal. Jika
kita seorang pendidik, kepala sekolah, pemilik lembaga pendidikan atau bahkan
politisi yang memangku birokrasi, seyogyanya bersatu padu agar Terbinanya
insan akademis, pencipta, pengabdi yang bernafaskan islam, dan bertanggungjawab
atas terwujudnya masyarakat adil, makmur yang diridhoi Allah SWT.”
Wallohu
a’lam
Bandung,
29 Juni 2018
Ngubaidillah.,M.Pd