Penyaluran Zakat Fitrah
بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ
Bismillah
Allohumma shalii ‘ala Muhammad, Amma ba’du
Asslamu’alaikum?
Bagaimana kabar saudaraku? Puasa sebentar
lagi berakhir, ini sudah di 10 terakhir, mari kita manfaatkan, sebelumnya dijelasan
tentang Lailatul Qadr ( klik di sini ), sekarang akan dijelaskan tentang Zakat
Fitrah
memaknai zakat Fitrah
Zakat fitrah disyariatkan pada tahun
kedua Hijriah bulanSyakban. Sejak saat itu zakat fitrah menjadi pengeluaran wajib
yang dilakukan seap muslim yang mempunyai kelebihan dari keperluan keluarga
yang wajar pada malam dan hari raya Idul Fitri, sebagai tanda syukur kepada Allah
karena telah menyelesaikan ibadah puasa. Para ulama bersepakat bahwa zakat
fitrah hukumnya wajib bagi seap individu berdasarkan hadis
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَكَاةَ الْفِطْرِ طُهْرَةً لِلصَّائِمِ مِنْ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ وَطُعْمَةً لِلْمَسَاكِينِ مَنْ أَدَّاهَا قَبْلَ الصَّلَاةِ فَهِيَ زَكَاةٌ مَقْبُولَةٌ وَمَنْ أَدَّاهَا بَعْدَ الصَّلَاةِ فَهِيَ صَدَقَةٌ مِنْ الصَّدَقَاتِ
“Dari
Ibnu ‘Abbas, dia berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah
mewajibkan zakat fithri untuk menyucikan orang yang berpuasa dari perkara
sia-sia dan perkataan keji, dan sebagai makanan bagi orang-orang miskin.
Barangsiapa menunaikannya sebelum shalat (‘Id), maka itu adalah zakat yang
diterima. Dan barangsiapa menunaikannya setelah shalat (‘Id), maka itu adalah
satu shadaqah dari shadaqah-shadaqah”.
(HR Abu Dawud, no. 1609; Ibnu Majah, no. 1827)
Yang berhak menerima zakat fitrah (mustahik)
إِنَّمَا ٱلصَّدَقَاتُ لِلْفُقَرَآءِ وَٱلْمَسَاكِينِ وَٱلْعَامِلِينَ عَلَيْهَا وَٱلْمُؤَلَّفَةِ قُلُوبُهُمْ وَفِى ٱلرِّقَابِ وَٱلْغَارِمِينَ وَفِى سَبِيلِ ٱللَّهِ وَٱبْنِ ٱلسَّبِيلِ فَرِيضَةً مِّنَ ٱللَّهِ وَٱللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ
“Sesungguhnya
zakat-zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin.
pengurus-pengurus zakat, para mu’allaf yang dibujuk hatinya, untuk
(memerdekakan) budak, orang-orang yang berutang untuk jalan Allah, dan
orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang
diwajibkan Allah; dan Allah Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana.” (At-Taubah ayat 60)
Yang berhak atas harta zakat berjumlah
delapan golongan.
1. fakir, yaitu mereka yang tidak mendapatkan
sesuatu yang mencukupi separuh dari kebutuhanya, jika seseorang tidak memiliki
sesuatu yang ia dapat nafkahkan untuk diri sendiri dan keluarganya selama
setengah tahun, maka ia adalah fakir, ia diberi dari zakat sesuatu yang
mencukupi dirinya dan keluarganya selama setahun.
2. Miskin, mereka adalah orang-orang yang
memiliki harta yang dapat menutupi separuh atau lebih kebutuhanya, namun tidak
dapat memenuhi kebutuhanya selama setahun penuh, maka mereka diberi sesuatu
yang dapat menyempurnakan kekurangan untuk nafkah setahun. Jika seseorang tidak
memiliki uang namun ia memiliki sumber pendapatan, seperti profesi, atau gaji,
atau investasi yang dapat memberikan kecukupan padanya, maka ia tidak diberi
zakat, sebagaimana Nabi saw bersabda:
لا حظ فيها لغني ولا لقوي مكتسب.
" Tidak ada bagian bagi orang kaya,
tidak pula bagi oarng yang kuat dan berpenghasilan"
3. Amil zakat
Amil
zakat adalah orang yang diangkat penguasa atau wakilnya untuk mengurus zakat.
Tugasnya melipu penghimpunan, pengelolaan, dan pendistribusian zakat. Golongan
ini tetap berhak menerima dana zakat meskipun seorang yang kaya, tujuannya agar
agama mereka terpeli- hara. Sebagian ulama berpendapat bahwa bagian amil dari harta
zakat adalah seperdelapan dari total yang terhimpun.
Dimasukkannya
amil sebagai asnaf menunjukkan bahwa zakat dalam islam bukanlah suatu tugas
yang hanya diberikan kepada seseorang (individual), tapi merupakan tugas jamaah
(bahkan menjadi tugas negara). Zakat
punya anggaran khusus yang dikeluarkan daripadanya untuk gaji para pelaksananya
4. Mualaf
Muallaf,
ada empat macam :
a) Orang yang baru masuk Islam, sedangkan
imannya belum teguh.
b) Orang Islam yang berpengaruh dalam
kaumnya, dan kita
berpengharapan
kalau dia diberi zakat, maka orang lain dari kaumnya akan masuk Islam.
c) Orang Islam yang berpengaruh terhadap
kafir, kalau dia diberi zakat,
kita
akan terpelihara dari kejahatan kafir yang dibawah pengaruhnya.
d) Orang yang menolak kejahatan terhadap
orang yang zakat.
5. Riqâb
Riqâb
adalah hamba yang telah dijanjikan oleh tuannya bahwa dia boleh menebus
dirinya. Hamba itu diberikan zakat sekadar untuk menebus dirinya.
Ibnu
Abbas dan Al-Hasan mengatakan bahwa tidak mengapa budak dimerdekakan dari harta
zakat. Pendapat ini dikatakan oleh mazhab Imam Ahmad, Imam Malik, dan Ishaq.
Dengan kata lain, istilah ar-riqab lebih umum, mencakup mukatab dan lainnya.
Harta zakat itu dibelikan budak, lalu dimerdekakan.
Dari
Abu Hurairah r.a., disebutkan bahwa Nabi Saw. pernah bersabda:
“ثَلَاثَةٌ حَقٌّ عَلَى اللَّهِ عونُهم: الْغَازِي فِي سَبِيلِ اللَّهِ، وَالْمُكَاتَبُ الَّذِي يُرِيدُ الْأَدَاءَ، وَالنَّاكِحُ الَّذِي يُرِيدُ الْعَفَافَ”.
Ada tiga macam orang yang pasti ditolong
oleh Allah, yaitu orang yang berperang di jalan Allah, budak mukatab yang
berniat untuk melunasinya, dan orang yang menikah dengan niat hendak memelihara
kehormatannya.
Hadis
ini merupakan riwayat Imam Ahmad dan Ahlus Sunan, kecuali Imam Abu Daud.
6. Gârim (orang yang terlilit hutang)
Garim
dibagi menjadi dua
a. Orang
yang berhutang untuk kemaslahatan sendiri (seperti untuk nafkah keluarga, sakit, mendirikan rumah
dlsb). Termasuk didalamnya orang yang
terkena bencana sehingga hartanya musnah.
Beberapa
syarat gharimin ini :
1) Hendaknya ia mempunyai kebutuhan untuk
memiliki harta yang dapat membayar utangnya.
2) Orang tsb berhutang dalam melaksanakan
ketaatan atau mengerjakan sesuatu yang diperbolehkan syariat.
3) Hutangnya harus dibayar pada waktu
itu. Apabila hutangnya diberi tenggang
waktu dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama apakah orang
yang berhutang ini dapat dikategorikan sebagai mustahik.
4) Kondisi hutang tsb berakibat sebagai
beban yang sangat berat untuk dipikul.
5) Berapa besar orang yang berhutang harus
diberikan ?
Orang yang berhutang karena
kemaslahatan dirinya harus diberi sesuai dengan kebutuhannya. Yaitu untuk membayar lunas hutangnya. Apabila ternyata ia dibebaskan oleh yang
memberi hutang, maka dia harus mengembalikan bagiannya itu. Karena ia sudah tidak memerlukan lagi (untuk
membayar hutang).
Sesungguhnya Islam dengan
menutup utang orang yang berhutang berarti telah menempatkan dua tujuan utama :
1) Mengurangi beban orang yang berutang
dimana ia selalu menghadapi kebingungan di waktu malam dan kehinaan di waktu
siang.
2) Memerangi riba.
b. Orang yang berhutang untuk kemaslahatan
orang lain.
Umumnya
hal ini dikaitkan dengan usaha untuk mendamaikan dua pihak yang bersengketa,
namun tidak ada dalil syara' yang mengkhususkan gharimin hanya pada usaha
mendamaikan tsb. Oleh karenanya orang yang
berhutang karena melayani kepentingan masyarakat hendaknya diberi bagian zakat
untuk menutupi hutangnya, walaupun ia orang kaya.
Jadi
bagi kita yang mengambil kredit TV misalnya, tentunya tidak termasuk kaum
gharimin yang menjadi sasaran zakat. Karena kita bukannya sengsara karena
hutang, tapi justru menikmati-nya.
7. Fî sabîlillâh
Fî
sabîlillâh adalah balatentara yang membantu dengan kehendaknya sendiri, sedang
ia dak mendapatkan gaji yang tertentu dan dak pula mendapat bagian dari harta yang
disediakan untuk keperluan peperangan dalam dewan balatentara. Orang ini diberi
zakat meskipun ia kaya sebanyak keperluannya untuk memasuki medan perang, seper
membeli senjata dan lain sebagainya.
Ada
beberapa perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai fi sabilillah di era
modern ini. Untuk pembahasanya, in shaa Alloh akan dibahas di lain waktu
8. Ibnu sabil
adalah
orang yang dalam perjalanan yang halal, dan sangat membutuhkan bantuan ongkos
sekadar sampai pada tujuannya.
Ukuran zakat fitrah
Ukuran zakat fithrah setiap orang adalah
satu sha’ kurma kering, atau anggur kering, atau gandum, atau keju, atau
makanan pokok yang menggantikannya, seperti beras, jagung, atau lainnya.
عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ كُنَّا نُخْرِجُ فِي عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ الْفِطْرِ صَاعًا مِنْ طَعَامٍ وَقَالَ أَبُو سَعِيدٍ وَكَانَ طَعَامَنَا الشَّعِيرُ وَالزَّبِيبُ وَالْأَقِطُ وَالتَّمْرُ
“Dari
Abu Sa’id Radhiyalahu ‘anhu, dia berkata : “Kami dahulu di zaman Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada hari fithri mengeluarkan satu sha’ makanan”.
Abu Sa’id berkata,”Makanan kami dahulu adalah gandum, anggur kering, keju, dan
kurma kering.” [HR
Bukhari, no. 1510.
Ukuran sha’ yang berlaku adalah sha’
penduduk Madinah zaman Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Satu sha’ adalah
empat mud. Satu mud adalah sepenuh dua telapak tangan biasa. Adapun untuk
ukuran berat, maka ada perbedaan, karena memang asal sha’ adalah takaran untuk
menakar ukuran, lalu dipindahkan kepada timbangan untuk menakar berat dengan
perkiraan dan perhitungan. Ada beberapa keterangan mengenai masalah ini,
sebagai berikut:
1. Satu sha’ = 2,157 kg (Shahih Fiqih
Sunnah, 2/83).
2. Satu sha’ = 3 kg (Taisirul Fiqh, 74;
Taudhihul Ahkam, 3/74).
3. Satu sha’ = 2,40 gr gandum yang bagus.
(Syarhul Mumti’, 6/176).
Setiap yang menjadi makanan pokok bisa
digunakan untuk zakat fitrah, seperti di negeri kita dengan beras. Empat
makanan yang disebutkan di atas bukanlah batasan karena makanan tersebut
menjadi makanan orang banyak di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
Waktu mengeluarkan Zakat Fitrah
sebelum shalat ‘Id, bahwa zakat fithri
yang dibayarkan setelah shalat ‘Id, dianggap tidak berniali sebagai zakat
fithri, sebagaimana disebutkan dalam sebuah hadits :
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ فَرَضَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ زَكَاةَ الْفِطْرِ طُهْرَةً لِلصَّائِمِ مِنْ اللَّغْوِ وَالرَّفَثِ وَطُعْمَةً لِلْمَسَاكِينِ مَنْ أَدَّاهَا قَبْلَ الصَّلَاةِ فَهِيَ زَكَاةٌ مَقْبُولَةٌ وَمَنْ أَدَّاهَا بَعْدَ الصَّلَاةِ فَهِيَ صَدَقَةٌ مِنْ الصَّدَقَاتِ
“Dari
Ibnu ‘Abbas Radhiyallahu ‘anhu, dia berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam telah mewajibkan zakat fithri untuk menyucikan orang yang berpuasa dari
perkara sia-sia dan perkataan keji, dan sebagai makanan bagi orang-orang
miskin. Barangsiapa menunaikannya sebelum shalat (‘Id), maka itu adalah zakat
yang diterima. Dan barangsiapa menunaikannya setelah shalat (‘Id), maka itu
adalah satu shadaqah dari shadaqah-shadaqah”. [HR Abu Dawud, no. 1609; Ibnu Majah, no.
1827, dan lain-lain].
Apakah
boleh dibayar sebelum hari ‘Id? Dalam masalah ini, terdapat beberapa pendapat :
Abu Hanifah rahimahullah berpendapat :
“Boleh maju setahun atau dua tahun”.
Malik rahimahullah berpendapat : “Tidak
boleh maju”.
Syafi’iyah berpendapat : “Boleh maju
sejak awal bulan Ramadhan”.
Hanabilah : “Boleh sehari atau dua hari
sebelum ‘Id”.
Pendapat terakhir inilah yang pantas
dipegangi, karena sesuai dengan perbuatan Ibnu ‘Umar Radhiyallahu ‘anhuma, Nafi’
berkata:
وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا يُعْطِيهَا الَّذِينَ يَقْبَلُونَهَا وَكَانُوا يُعْطُونَ قَبْلَ الْفِطْرِ بِيَوْمٍ أَوْ يَوْمَيْنِ
“Dan
Ibnu ‘Umar biasa memberikan zakat fithri kepada orang-orang yang menerimanya,
mereka itu diberi sehari atau dua hari sebelum fithri”. [HR Bukhari, no. 1511;
Muslim, no. 986].
Demikian pembahasan dasar mengenai fikih
zakat, selanjutnya akan dibahas mengenai pertanyaan – pertanyaan umum zakat
fitrah.
Wallohu a’lam
Bandung,
07 Juni 2018 / 22 Ramadhan 1439 H
Ngubaidillah.,M.Pd
Referensi:
Dr. Yusuf
Al-Qaradhawy, Sari Penting Kitab Fikih
Zakat,
makalah seputar zakat رسالتان في الزكاة, Abdul Aziz Bin Abdullah Bin Baz dan Muhammad Bin Shaleh Al-‘Utsaimin
Sulaiman
Rasyid, Fiqih Islam, Bandung: Sinar
Baru Algesindo,
Ahmad
Hadi Yasin, Panduan Zakat Praktis, 1432
H