Kontroversi Keputusan Kemenag "200 muballigh"
Keputusan Kementrian Agama dalam
mengeluarkan surat rekomendasi untuk 200 Muballigh atau ustadz penuh dengan
kontroversi. apalagi ada beberapa ustadz yang selama ini viral di
media sosial bahkan sampai dikontrak media televisi nasional tidak dicantumkan.
seperti Ustad Adi Hidayat, Ustadz Abdussomad, Ustadz Hanan Attaki, Ustadz Felix dan
sebagainya.
sebelumnya saya apresiasi
dengan keputusan Kemenag ini, dengan unsur nasionalisme
sebagai salah satu kriteria penilaian, diharapkan akan memunculkan para
pendakwah yang mennyebarkan Islam sebagai agama bangsa yang tidak melanggar
konstitusi negri. Sehingga menyebarkan ajaran islam yang tidak bertentangan
undang-undang. Apalagi keputusan ini dikeluarkan di saat viral nya isu terorisme. Yang disinyalir terorisme itu lahir karena
pemahaman Islam yang menyimpang. Karena isu ini lah yang dikira oleh sebagian
manusia, bahwa ajaran islam tidak bersinergi dengan konstitusi Indonesia.
Namun di lain sisi, saya menaruh tanda Tanya,
curiga bahkan kekecewaan.
1. Kenapa para muballigh yang mendakwahkan sunnah tidak dimasukkan? Padahal dakwah
sunnah di Indonesia sudah mendapat apresiasi tinggi dari masyarakat. Karena masyarakat sudah mulai sadar dan kritis, mana ajaran agama yang sesuai dengan tuntunan
nabi dan mana tradisi nenek moyang. hal ini justru didukung oleh founding father atau orang nomor 1 dalam sejarah Indonesia, yaitu Ir. Soekarno. menurut beliau, jika bangsa dan agama Islam ingin majutidak cuma kembali ke Qur'an dan Hadits, tapi mengintegrasikan Qur'an dan Hadits dengan pengetahuan modern atau sains atau ilmiah. (baca selengkapnya di sini)
Dalam hal ini salafi dengan para penda’I nya berdiri di barisan terdepan. Dan sayangnya, sepengathuan saya tidak ada satu pun ustadz salafi yang masuk ke daftar itu. Sehingga hal ini menimbulkan pertanyaan, “ada apa?”. Padahal ajaran salafi sangat antipati dengan terorisme. Salafi berdakwah sesuai dengan tuntunan Rasullah yaitu dengan kehalusan. Sebagai bukti, banyak sekali preman bertato yang bertaubat dan aktif di kajian mereka, sehingga disebut dengan istilah hijrah. (perlu digaris bawahi, saya bukan membela salafi, karena saya bukan bagian dari mereka, tapi saya berusaha menilai secara komprehensif)
Dalam hal ini salafi dengan para penda’I nya berdiri di barisan terdepan. Dan sayangnya, sepengathuan saya tidak ada satu pun ustadz salafi yang masuk ke daftar itu. Sehingga hal ini menimbulkan pertanyaan, “ada apa?”. Padahal ajaran salafi sangat antipati dengan terorisme. Salafi berdakwah sesuai dengan tuntunan Rasullah yaitu dengan kehalusan. Sebagai bukti, banyak sekali preman bertato yang bertaubat dan aktif di kajian mereka, sehingga disebut dengan istilah hijrah. (perlu digaris bawahi, saya bukan membela salafi, karena saya bukan bagian dari mereka, tapi saya berusaha menilai secara komprehensif)
2. Dari poin no.1 saya menjadi curiga, apa
karena mayoritas dari anggota Kemenag
adalah ormas besar seperti Nahdhatul Ulama dan Muhammadiyah, sehingga menafikan
atau meniadakan peran da’I yang di luar ormasnya. Padahal di luar kedua ormas tersebut, banyak sekali da’I yang
berdakwah di media social, media televise, di pesantren, di pelosok negri
bahkan sampai di penjuru dunia. Dan tidak semua mereka berasal dari kedua ormas
besar itu, ada yang dari FPI, Persis, LDII, Lemkari, Wahidiyah, dan sebagainya.
Kenapa mereka tidak dimasukan ke dalam 200 muballig terekomendasi.
3. Kenapa Ustadz Hanan, Ust Adi Hidayat,
Bahtiar Nasir, Buya Yahya, Ustad Abdussomad, dsb yang saya sebut mereka adalah
ustadz moderat. Yang ketika dakwah tidak mudah membid’ahkan juga tidak membawa nama ormas. Masih saja tidak
terdaftar di 200 itu. Apa karena mereka tidak mendaklarasika dirinya sebagai
bagian dari ormas? Sehingga dakwah mereka selama ini tidak sesuai dengan
Konstitusi Indonesia?. Nama ustad di atas sudah tidak bisa diragukan lagi
kredibilitasnya, ketika rezim tidak
mengakui, rakyat justru memuji. Ketika negara menganggap mereka ustadz durhaka,
dunia justru selalu mengharap kehadiranya.
4. Indonesia adalah Negara sekuler, yaitu
memisahkan agama dari Negara. Terlepas dari perbedaan definisi Negara sekuler,
saya tegaskan, Indonesia bukan lah Negara khilafah.
Dimana urusan agama dikendalikan oleh rexim.
Keputusan kemenag ini tidak lah konsisten dengan identitas Indonesia itu
sendiri sebagai Negara sekuler. Soal agama, soal dakwah biarlah rakyat dan
agama yang mengaturnya, pemerintah hanya bersifat controlling. Bukan membuat regulasi
yang menuai kontroversi dan konfontrasi. Sehingga kemenag terkesan
tidak menghargai bahkan mencurigai muballigh
di luar 200 nama itu.
5. Kenapa sebelumnya Kemenag tidak
mensosialisasikan tentang akan diadakanya “seleksi
penerimaan muballigh Nasional, kuota terbatas! Hanya 200”. Terkait 3
kriteria penilaian, publik pun masih bingung bagaimana teknis, siapa yang
menilai, berapa hasil akhir dan berapa ribu muballigh
yang dinilai sehingga memutuskan 200 yang lolos penilaian.
Demikian pendapat saya, semoga tanda Tanya
dan curiga saya tidaklah benar. Pemerintah berniat baik, kita sebagai
masyarakat pun berniat baik. Semua itu karena masalah komunikasi, duduk
bermusyawarah untuk berdiskusi sebelum menjadi regulasi.
Bandung, 23 Mei 2018
Posting Komentar untuk "Kontroversi Keputusan Kemenag "200 muballigh""