Bagaimana hukum memakai cadar?
Dalam masalah ini,
sebenarnya yang menjadi sebab perbedaan adalah mengenai hukum nya wajah seorang
wanita. Wajah sebagai aurat atau bukan. Sehingga jika wajah wanita adalah
aurat, maka wajib hukumnya menutup wajah atau bercadar. Namun para ulama
berbeda pendapat. Sebagian mengatakan wajib, yang lain menyatakan tidak wajib,
namun merupakan keutamaan.
1. Dalil yang mewajibkan
a. Surat
Al Ahzab/33: 59
يَآأَيُّهَا النَّبِيُّ قُل لأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ
وَنِسَآءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِن جَلاَبِيبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى
أَن يُعْرَفْنَ فَلاَ يُؤْذَيْنَ وَكَانَ اللهُ غَفُورًا رَّحِيمًا
“Hai Nabi katakanlah kepada
istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mu’min: “Hendaklah
mereka mengulurkan jilbabnya ke tubuh mereka.” Yang demikian itu supaya mereka
lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah
Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” [Al Ahzab/33: 59]
Diriwayatkan bahwa Ibnu
Abbas berkata, “Allah memerintahkan kepada istri-istri kaum mukminin, jika
mereka keluar rumah karena suatu keperluan, hendaklah mereka menutupi wajah
mereka dengan jilbab (pakaian semacam mukena) dari kepala mereka. Mereka dapat menampakkan
satu mata saja.”
b. Surat
Al Ahzab/33: 53
وَإِذَا سَأَلْتُمُوهُنَّ مَتَاعًا فَسْئَلُوهُنَّ
مِن وَرَآءِ حِجَابٍ ذَلِكُمْ أَطْهَرُ لِقُلُوبِكُمْ وَقُلُوبِهِنَّ
“Apabila kamu meminta sesuatu (keperluan)
kepada mereka (istri-istri Nabi), maka mintalah dari belakang tabir. Cara yang
demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka.” [Al Ahzab/33: 53]
Ayat ini jelas menunjukkan
wanita wajib menutupi diri dari laki-laki, termasuk menutup wajah, yang
hikmahnya adalah lebih menjaga kesucian hati wanita dan hati laki-laki.
Sedangkan menjaga kesucian hati merupakan kebutuhan setiap manusia, yaitu tidak
khusus bagi istri-istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat
saja, maka ayat ini umum, berlaku bagi para istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam dan semua wanita mukmin. Setelah turunnya ayat ini maka Nabi shallallahu
‘alihi wa sallam menutupi istri-istri beliau, demikian para sahabat menutupi
istri-istri mereka, dengan menutupi wajah, badan, dan perhiasan.
c. Hadits
Riwayat Aisyah
‘Aisyah berkata:
لَمَّا نَزَلَتْ هَذِهِ الْآيَةُ ( وَلْيَضْرِبْنَ
بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ ) أَخَذْنَ أُزْرَهُنَّ فَشَقَّقْنَهَا مِنْ قِبَلِ
الْحَوَاشِي فَاخْتَمَرْنَ بِهَا
“Mudah-mudahan Allah merahmati
wanita-wanita Muhajirin yang pertama-tama, ketika turun ayat ini: “Dan
hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dada (dan leher) mereka.” (Al
Ahzab/33 : 31), mereka merobek selimut mereka lalu mereka berkerudung
dengannya.” (HR. Bukhari, Abu Dawud, Ibnu Jarir, dan
lainnya)
Ibnu Hajar berkata (Fathul Bari 8/490):
“Perkataan: lalu mereka berkerudung dengannya” maksudnya mereka menutupi wajah
mereka.”
d. Perkataan
Aisyah dalam peristiwa Haditsul Ifki:
وَقَدْ كَانَ -صَفْوَانُ بْنُ الْمُعَطَّلِ السُّلَمِيُّ
ثُمَّ الذَّكْوَانِيُّ- يَرَانِي قَبْلَ أَنْ يُضْرَبَ الْحِجَابُ عَلَيَّ فَاسْتَيْقَظْتُ
بِاسْتِرْجَاعِهِ حِينَ عَرَفَنِي فَخَمَّرْتُ وَجْهِي بِجِلْبَابِي
“Dia (Shawfan bin Al-Mu’athal) dahulu
pernah melihatku sebelum diwajibkan hijab atasku, lalu aku terbangun karena
perkataannya: “Inna lillaahi…” ketika dia mengenaliku. Maka aku menutupi
wajahku dengan jilbabku.” [HR. Muslim]
Inilah kebiasaan Ummahatul mukminin, yaitu
menutupi wajah, maka hukumnya meliputi wanita mukmin secara umum sebagaimana
dalam masalah hijab.
2. Dalil yang tidak mewajibkan
a. Surat
An Nur/24 :31
وَلاَ يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلاَّ مَا ظَهَرَ
مِنْهَا
Dan
janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka kecuali yang (biasa) nampak dari
mereka.
Tentang perhiasan yang biasa nampak ini, Ibnu
Abbas berkata, “Wajah dan telapak tangan.”
Perkataan serupa juga diriwayatkan oleh Ibnu
Abi Syaibah dari Ibnu Umar.
Berdasarkan penafsiran kedua sahabat ini
jelas bahwa wajah dan telapak tangan wanita boleh kelihatan, sehingga bukan
merupakan aurat yang wajib ditutup.
b. Ibnu
Mas’ud berkata
رَأَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ امْرَأَةً فَأَعْجَبَتْهُ فَأَتَى سَوْدَةَ وَهِيَ تَصْنَعُ طِيبًا وَعِنْدَهَا
نِسَاءٌ فَأَخْلَيْنَهُ فَقَضَى حَاجَتَهُ ثُمَّ قَالَ أَيُّمَا رَجُلٍ رَأَى امْرَأَةً
تُعْجِبُهُ فَلْيَقُمْ إِلَى أَهْلِهِ فَإِنَّ مَعَهَا مِثْلَ الَّذِي مَعَهَا
Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat seorang wanita sehingga wanita itu
mempesona beliau, maka beliau mendatangi Saudah (istri beliau), yang sedang
membuat minyak wangi dan di dekatnya ada banyak wanita. Maka wanita-wanita itu
meninggalkan beliau, lalu beliau menunaikan hajatnya. Kemudian beliau bersabda:
“Siapapun lelaki yang melihat seorang wanita, sehingga wanita itu mempesonanya,
maka hendaklah dia pergi kepada istrinya, karena sesungguhnya pada istrinya itu
ada yang semisal apa yang ada pada wanita (yang mempesonakan) itu. [HR. Muslim,
Ibnu Hibban, Darimi, dan lainnya. Lafazh ini riwayat Darimi. Lihat takhrijnya
di dalam Ash-Shahihah no:235]
hadits ini nyata menunjukkan bahwa di zaman
Nabi, wajah wanita biasa terbuka.
c. Diriwayatkan
dari ‘Aisyah Radhiyallahu ‘anha, dia berkata.
أَنَّ أَسْمَاءَ بِنْتَ أَبِي بَكْرٍ دَخَلَتْ عَلَى
رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَعَلَيْهَا ثِيَابٌ رِقَاقٌ فَأَعْرَضَ
عَنْهَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَالَ يَا أَسْمَاءُ
إِنَّ الْمَرْأَةَ إِذَا بَلَغَتِ الْمَحِيضَ لَمْ تَصْلُحْ أَنْ يُرَى مِنْهَا إِلَّا
هَذَا وَهَذَا وَأَشَارَ إِلَى وَجْهِهِ وَكَفَّيْهِ قَالَ أَبُو دَاوُد هَذَا مُرْسَلٌ
خَالِدُ بْنُ دُرَيْكٍ لَمْ يُدْرِكْ عَائِشَةَ رَضِي اللَّهُ عَنْهَا
Bahwa
Asma’ bintu Abi Bakar menemui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan
memakai pakaian tipis. Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berpaling
darinya dan berkata, “Wahai Asma’, sesungguhnya seorang wanita itu, jika telah
mendapatkan haidh, tidak pantas terlihat dari dirinya kecuali ini dan ini”,
beliau menunjuk wajahnya dan kedua telapak tangannya
Hadits ini sesungguhnya lemah, tetapi Syeikh
Al Albani menyatakan bahwa hadits ini dikuatkan dengan beberapa penguat.
3. Pandangan empat madzhab
a. Madzhab Hanafi
Pendapat madzhab Hanafi, wajah wanita bukanlah
aurat, namun memakai cadar hukumnya sunnah (dianjurkan) dan menjadi wajib jika
dikhawatirkan menimbulkan fitnah.
* Asy Syaranbalali berkata:
وجميع بدن الحرة عورة إلا وجهها وكفيها باطنهما
وظاهرهما في الأصح ، وهو المختار
“Seluruh tubuh wanita adalah aurat
kecuali wajah dan telapak tangan dalam serta telapak tangan luar, ini pendapat
yang lebih shahih dan merupakan pilihan madzhab kami“
(Matan Nuurul Iidhah)
* Al Imam Muhammad ‘Alaa-uddin berkata:
وجميع بدن الحرة عورة إلا وجهها وكفيها ، وقدميها
في رواية ، وكذا صوتها، وليس بعورة على الأشبه ، وإنما يؤدي إلى الفتنة ، ولذا تمنع
من كشف وجهها بين الرجال للفتنة
“Seluruh
badan wanita adalah aurat kecuali wajah dan telapak tangan dalam. Dalam suatu
riwayat, juga telapak tangan luar. Demikian juga suaranya. Namun bukan aurat
jika dihadapan sesama wanita. Jika cenderung menimbulkan fitnah, dilarang
menampakkan wajahnya di hadapan para lelaki” (Ad Durr Al
Muntaqa, 81)
b.
Madzhab
Maliki
Mazhab Maliki berpendapat bahwa wajah
wanita bukanlah aurat, namun memakai cadar hukumnya sunnah (dianjurkan) dan
menjadi wajib jika dikhawatirkan menimbulkan fitnah. Bahkan sebagian ulama
Maliki berpendapat seluruh tubuh wanita adalah aurat.
* Ibnul Arabi berkata:
والمرأة كلها عورة ، بدنها ، وصوتها ، فلا يجوز
كشف ذلك إلا لضرورة ، أو لحاجة ، كالشهادة عليها ، أو داء يكون ببدنها ، أو سؤالها
عما يَعنُّ ويعرض عندها
“Wanita itu seluruhnya adalah aurat. Baik
badannya maupun suaranya. Tidak boleh menampakkan wajahnya kecuali darurat atau
ada kebutuhan mendesak seperti persaksian atau pengobatan pada badannya, atau
kita dipertanyakan apakah ia adalah orang yang dimaksud (dalam sebuah
persoalan)” (Ahkaamul Qur’an, 3/1579)
* Al Qurthubi berkata:
قال ابن خُويز منداد ــ وهو من كبار علماء المالكية
ـ : إن المرأة اذا كانت جميلة وخيف من وجهها وكفيها الفتنة ، فعليها ستر ذلك ؛ وإن
كانت عجوزًا أو مقبحة جاز أن تكشف وجهها وكفيها
“Ibnu Juwaiz Mandad – ia adalah ulama
besar Maliki – berkata: Jika seorang wanita itu cantik dan khawatir wajahnya
dan telapak tangannya menimbulkan fitnah, hendaknya ia menutup wajahnya. Jika
ia wanita tua atau wajahnya jelek, boleh baginya menampakkan wajahnya”
(Tafsir Al Qurthubi, 12/229)
c. Madzhab Syafi’i
Pendapat madzhab Syafi’i, aurat wanita di
depan lelaki ajnabi (bukan mahram) adalah seluruh tubuh. Sehingga mereka
mewajibkan wanita memakai cadar di hadapan lelaki ajnabi. Inilah pendapat
mu’tamad madzhab Syafi’i.
* Asy Syarwani berkata:
إن لها ثلاث عورات : عورة في الصلاة ، وهو ما تقدم
ـ أي كل بدنها ما سوى الوجه والكفين . وعورة بالنسبة لنظر الأجانب إليها : جميع بدنها
حتى الوجه والكفين على المعتمد وعورة في الخلوة وعند المحارم : كعورة الرجل »اهـ ـ
أي ما بين السرة والركبة ـ
“Wanita
memiliki tiga jenis aurat, (1) aurat dalam shalat -sebagaimana telah
dijelaskan- yaitu seluruh badan kecuali wajah dan telapak tangan, (2) aurat
terhadap pandangan lelaki ajnabi, yaitu seluruh tubuh termasuk wajah dan
telapak tangan, menurut pendapat yang mu’tamad, (3) aurat ketika berdua bersama
yang mahram, sama seperti laki-laki, yaitu antara pusar dan paha”
(Hasyiah Asy Syarwani ‘Ala Tuhfatul Muhtaaj, 2/112)
* Syaikh Sulaiman Al Jamal berkata:
غير وجه وكفين : وهذه عورتها في الصلاة . وأما عورتها
عند النساء المسلمات مطلقًا وعند الرجال المحارم ، فما بين السرة والركبة . وأما عند
الرجال الأجانب فجميع البدن
“Maksud perkataan An Nawawi ‘aurat wanita
adalah selain wajah dan telapak tangan’, ini adalah aurat di dalam shalat.
Adapun aurat wanita muslimah secara mutlak di hadapan lelaki yang masih mahram
adalah antara pusar hingga paha. Sedangkan di hadapan lelaki yang bukan mahram
adalah seluruh badan” (Hasyiatul Jamal Ala’ Syarh Al Minhaj, 411)
* Syaikh Muhammad bin Qaasim Al Ghazzi,
penulis Fathul Qaarib, berkata:
وجميع بدن المرأة الحرة عورة إلا وجهها وكفيها ،
وهذه عورتها في الصلاة ، أما خارج الصلاة فعورتها جميع بدنها
“Seluruh badan wanita selain wajah dan
telapak tangan adalah aurat. Ini aurat di dalam shalat. Adapun di luar shalat,
aurat wanita adalah seluruh badan” (Fathul Qaarib, 19)
* Ibnu Qaasim Al Abadi berkata:
فيجب ما ستر من الأنثى ولو رقيقة ما عدا الوجه والكفين
. ووجوب سترهما في الحياة ليس لكونهما عورة ، بل لخوف الفتنة غالبًا
“Wajib bagi wanita menutup seluruh tubuh
selain wajah telapak tangan, walaupun penutupnya tipis. Dan wajib pula menutup
wajah dan telapak tangan, bukan karena keduanya adalah aurat, namun karena
secara umum keduanya cenderung menimbulkan fitnah”
(Hasyiah Ibnu Qaasim ‘Ala Tuhfatul Muhtaaj, 3/115)
* Taqiyuddin Al Hushni, penulis Kifaayatul
Akhyaar, berkata:
ويُكره أن يصلي في ثوب فيه صورة وتمثيل ، والمرأة
متنقّبة إلا أن تكون في مسجد وهناك أجانب لا يحترزون عن النظر ، فإن خيف من النظر إليها
ما يجر إلى الفساد حرم عليها رفع النقاب
“Makruh hukumnya shalat dengan memakai
pakaian yang bergambar atau lukisan. Makruh pula wanita memakai niqab (cadar)
ketika shalat. Kecuali jika di masjid kondisinya sulit terjaga dari pandnagan
lelaki ajnabi. Jika wanita khawatir dipandang oleh lelaki ajnabi sehingga
menimbulkan kerusakan, haram hukumnya melepaskan niqab (cadar)”
(Kifaayatul Akhyaar, 181)
Kesimpulan
1. Ada sebagian
ulama yang mewajibkan cadar
2. Ada sebagian
ulama yang menganjurkan cadar
3. Ada sebagian
ulama yang membolehkan tidak bercadar
Kebumen,
20 Mei 2018